Aku mmenjulurkan telapak tanganku, saat itu juga terasa titik-titik dingin meresap pori-pori kulit. Hujan. Sudah lama aku tidak seperti ini merasakan air hujan membasahi tubuh. Aku rindu saat-saat aku berlarian dengan kaki telanjang, telapak kakiku menghantam permukaan aspal, sementara sepasang sepatu berwarna hitam sengaja dijinjing ditangan kanan. Aku tak peduli basah kuyup seluruh badan padahal yang kekenakan adalah seragam sekolah satu-satunya. Ah, peduli apa toh ibu selalu punya akal agar esok aku bisa menggunakannya lagi.
Sudah 19 tahun lewat masa itu. Perlahan kebahagiaan itu hilang dari ingatan karena terisi oleh pemandangan-pemandangan baru yang kutemui setiap pergantian waktu. Pemandangan dan kisah yang kadang membuatku terpana, takjub tak jarang juga membuatku meneteskan air mata. Bahkan aku lupa bagaimana wajahku mulai berubah setiap waktunya. Aku lupa untuk membawa cermin. bahkan aku pun tak mampu menyadari cermin itu telah retak dan melukai orang lain. Entah bagaimana mengobati luka yang menggores. Maaf aku lupa. aku ingin mengucapkan itu. Kenyataannya tak sesederhana itu. Maaf dan memaafkan terlalu mudah untuk diucapkan tapi goresan itu ternyata masih membekas. Sulit dihilangkan. Walau bagaimana aku tak mampu memaksa bahwa orang lain mampu memakluminya. Hingga akhirnya aku mampu memaklumi bahwa memang tidak mudah untuk memaklumi sebuah luka. Dan aku percaya bahwa ini adalah cermin pengganti untuk kisah selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar