SELAMAT DATANG DI DUNIA SAYA

Dunia saya adalah tentang apa yang saya sukai dan menyukai saya;...

Kamis, 23 Desember 2010

DIMANA SERAGAM SAYA

Pagi yang cerah. Seperti biasa saya berdiri di depan Sekolah Dasar Negri 2. Terdengar tawa riuh anak-anak kecil, terkadang juga diselingi jeritan karena mereka sedang main kejar-kejaran, senang sekali kelihatanya.


"Om, beli es-nya"
Seorang bocah menghampiri saya dan mengulurkan satu lembar uang RP 500,00.
Seperti inilah hari-hari yang saya lalui, sebagai penjual es. Setiap hari saya pasti magang di depan SD ini. Menyaksikan anak-anak kecil berseragam merah putih kadang-kadang membuat saya tertawa terkadang juga merasa getir. Mereka mengingatkan saya pada peristiwa 10 tahun silam.

"Ngga mau!" Saya berteriak saat ibu menyodorkan satu stel seragam berwarna merah putih baru.

"Lho ini kan bagus masih baru, jauh lebih bagus dari baju TK adek yang itu." Ibu menunjuk kearah baju seragam yang sedang saya dekap.
Ibu berusaha merayu saya agar saya mau memakai seragam merah putih dan segera berangkat kesekolah.

Saya suka sekali dengan seragam TK saya dulu, celana biru tua dan kemeja pendek berwarna biru muda, ada rompinya berwarna senada dengan celana, lalu dilengkapi dasi kupu-kupu yang menurut saya sangat bagus.

"Ngga mau!" teriak saya lagi, berulang kali.

Kukuh pada pendirian. Saya yang tetap ingin memakai seragam TK, padahal saya sudah memasuki tahun ajaran baru dan itu berarti saya harus pindah sekolah yaitu Sekolah Dasar. Seharusnya saya senang karena saya sudah kelas 1 mengenakan seragam baru ke sekolah baru. Tapi nyatanya tidak, saya malah berat pada sekolah TK. Sebenarnya bukan karena seragam atau sekolahnya yang saya permasalahkan tapi karena pelajarannya. Menurut Kakak saya pelajaran di SD itu susahnya minta ampun. Ada pelajaran Matematika yang bikin botak kepala, ada IPA yang bikin bingung, masih banyak lagi sumpah serapah kakak yang bikin mengkerut nyali saya.

Saya lihat ketiga kakak saya sangat kecewa dengan ulah saya kali ini. Gara-gara saya mereka pun terancam terlambat masuk sekolah, padahal mereka sudah bersemangat dengan tas baru,buku baru,seragam mereka yang juga baru.
Tapi saya malah masih larut dengan ketakutan saya yang tidak beralasan. "Dek, ayo dong cepetan" itulah sentakan mereka secara bergantian.

Tiba-tiba ayah masuk dari belakang pintu dengan sebilah tongkat berwarna hitam mengkilat. Yah... itu pentungan yang biasa di pakai oleh Hansip sesuai dengan jabatan ayah yang seorang Hansip kampung.

"Mau sekolah ngga?" Melihat ayah yang nampak garang sedang marah, saya langsung berdiri memeluk ibu dan akhirnya mau memakai seragam merah putih, lalu berangkat dengan 3 kakak saya, yang masing-masing hanya selang usia 1 tahun saja.
Dengan rasa takut dan penuh tanda tanya saya mengikuti langkah kakak dari belakang.

Setelah kira-kira 15 menit perjalanan, kami sampai di sekolah. Begitu banyak anak kecil yang mengenakan seragam seperti seragam yang saya kenakan. Pantas ibu memaksa saya untuk tidak mengenakan seragam TK. Seandainya saya tetap memakainya mungkin saya malah akan lebih malu lagi karena mengenakan seragam nyasar.

Di sambut senyuman seorang Ibu Guru cantik yang mengenalkan diri dengan nama Ibu Ningsih. Beliau cantik sekali senyumnya pun ramah, saya suka sekali dengan beliau karena beliau sabar dan tidak galak seperti yang saya bayangkan.

Esok harinya ibu tidak perlu lagi memaksa saya untuk mengenakan seragam merah putih, karena belum sempat ibu menyuruh, saya sudah siap untuk sarapan dan berangkat.

Sudah 6 kali saya ganti seragam tanpa terasa 6 tahun sudah saya jadi penghuni SDN 2 dan itu berarti masa saya untuk belajar di SD itu pun akan berakhir. Setelah menempuh Ebtanas, akhirnya saya dinyatakan lulus dengan nilai cukup memuaskan. Sayapun bersemangat untuk menantikan seragam baru yang tentunya berbeda warna dengan seragam semasa saya di SD.

"Bu, seragam adek yang baru mana?" Tagih saya pada ibu

Ibu mengusap rambut kepala saya lembut sekali. "Maafkan ibu,nak. ibu tidak bisa beli seragam baru buat adek." Ucapan ibu yang terdengar berat untuk diucapkan membuat saya teringat dengan sebuah celengan,celengan yang terbuat dari bambu dan diberi lubang kecil memanjang cukup untuk memasukan uang recehan. Itu simpanan saya yang biasa saya sisihkan sedikit dari jatah uang jajan saya sendiri.

Ibu terlihat mengeluarkan bulir-bulir air mata.
"Sebenarnya bukanya ibu tidak mampu membeli seragam, ibu hanya tidak mampu membiayai sekolahmu kelak."

Ucapan ibu serasa palu yang mendarat di ubun-ubun kepala saya, membuyarkan impian saya tentang seragam sekolah yang baru yang ingin sekali saya kenakan. Impian tinggallah impian bagaimanapun kenyataan jauh lebih manis dari pada sekedar mimpi yang belum terlakoni. Pupus!

***
"Om, kok melamun" suara bocah kecil itu membuyarkan lamunan saya, mengembalikan saya pada dunia nyata. Saya menatap kearah barisan anak-anak kecil yang antri untuk membeli es, yang sedang saya jual. Yah..itulah barisan anak-anak yang menantikan masa depan, dan berharap mereka tidak bernasib sama seperti saya.












MK 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar