Stranger than Fiction adalah judul sebuah film yang pernah saya tonton beberapa tahun yang lalu. Film ini berkisah tentang seorang penulis dan tokoh karanganya sendiri. Penulis wanita ini salalu mengakhiri novelnya dengan kematian pemeran utama-nya.
Tokoh pria pada novel yang sedang ditulis Si pengarang tadi berusaha memohon agar si penulis mau merubah ending cerita; Agar dirinya tidak harus meninggal pada akhir cerita. Namun sayang, keputusan si Penulis tidak dapat dirubah dan si tokoh ceritapun meninggal tertabrak kendaraan saat menolong anak kecil yang sedang bermain sepatu roda. Meskipun saya tidak begitu suka dengan film ini berhubung ceritanya sedikit berbelit dan lambat, tapi saya lebih menyukai maksud yang terkandung dalam isi cerita.
Seorang penulis mampu membangun sebuah cerita sesuka hatinya, memunculkan tokoh semaunya, merubah seluruh adegan menurut kehendaknya. Namun dalam dunia nyata apakah ia mampu merubah kehidupanya sendiri? Mungkin bisa namun atas ijin Sang Kuasa.
Seperti halnya kita manusia yang hidup di bawah naungan Allah SWT, tidak mampu berbuat apa-apa jika Allah telah berkehendak. Seperti sebuah skenario cerita. Tidak akan seru bila tanpa diwarnai konflik yang turun naik dan menegangkan. Karena dari situlah kita mampu menyerap sebuah pelajaran. Begitu juga hidup kita yang ternyata telah memiliki skenario sendiri-sendiri. Skenario yang telah tersusun rapi dengan pertimbangan sebaik-baiknya.
Kita manusia hanya menjalani proses hidup yang telah ditulis, kita juga punya hak untuk berusaha merubah nasib meski ketentuan akhir tetap di tangan-Nya. Dalam menjalani hidup anggap saja kita hanya seorang tokoh film yang menjalani peran dari skenario terbaik agar tidak merasa terbebani oleh cobaan yang menghimpit. Semakin tinggi pohon maka semakin kencang tertiup angin. Lalu bagaimanakah agar pohon itu tidak mudah tumbang? jawabannya "akar" seindah apapun bunga-nya, serindang apapun daunnya dia pasti akan tumbang tanpa dukungan akar yang kuat. Bangunlah pondasi kesabaran, dan keikhlasan. Karena dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Hanya seberapa besar kesediaan hati kita untuk mencerna yang ada. Apa yang hari ini membebani kita, bahkan membuat kita menangis. Mungkin esok kita justru menertawakannya. Tidak ada mausia sempurna, tidak ada hidup yang sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada "seberapa sempurna kita mensyukuri yang ada". Kebahagiaan bukan terletak pada apa yang kita cari, tapi pada apa yang kita syukuri. Sederhanakan yang tidak sederhana, istimewakan yang biasa.
Kita semua menyadari saat kita sedang dirundung masalah kita tidak membutuhkan nasehat tapi solusi. Sementara solusi yang baik hanya dihasilkan oleh pemikiran yang baik. Lalu bagaimana kita mendapatkan itu, sementara pikiran kita kalut. Jujurlah pada diri sendiri. Hidup kita ada di tangan dan kaki kita. Meski kita juga tidak mampu hidup tanpa orang lain. Setidaknya berpikirlah sebelum bertindak. Jangan sia-siakan apa yang kita miliki. Semua akan terasa berarti jika dia telah pergi.
“Allah tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan kita.” Anggap saja kita adalah aktor terbaik dari sutradara terbaik.
MK___________July 5th, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar