Irvan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, tak jauh dari sebatang pohon besar yang sudah dikuasai oleh tanaman benalu. Sudah tak jelas pohon apakah sesungguhnya, karena daunya sudah berupa-rupa ragamnya. Sementara tepat di sebelah kiri Toyota jazz merah miliknya di parkir, terdapat sebuah bendungan yang mengeluarkan suara gelegar. Karena arus air menghantam dinding bendungan. Bendungan itu digunakan sebagai sarana pengairan sawah yang ada di sekelilingnya. Yang merupakan daerah pertanian.
Irvan berjalan menuju pohon besar itu tumbuh, lalu duduk pada batu besar yang ada di bawahnya. Dia menarik napas panjang lalu membuang pandangannya pada beberapa orang laki-laki yang sedang sibuk memukul bongkahan-bongkahan batu besar yang ada di sungai, kira-kira dua meter dari tempatnya duduk. Suara dentingan bersahutan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Batu- batu itu kini sebagai mata pencaharian kedua bagi penduduk setempat, setelah bertani dan berdagang. Sudah ke-empat kalinya ia mendatangi pohon itu dalam satu tahun terakhir. Jakarta-Purwokerto Bukanlah perjalanan yang singkat karena harus di tempuh perjalanan sekitar delapan jam dengan kendaraan pribadinya. Hanya satu tujuan yang membuatnya rela kembali berulangkali. Satu sosok perempuan kecil yang membuatnya hidup hingga saat ini.Sebuah pertanyaan yang membuatnya terus mencari di mana gerangan ia dapat menemukan jawaban itu.
Memang, perjalanan ini terasa begitu jauh. Tapi tunggulah. Gembala kecil akan menemukanmu. Terlalu muda bagi kaki kita untuk mengenal kata lelah. Apalagi untuk menyerah.
***
"Kata bapak pohon ini ada penunggunya," ucapan lugu dari bibir mungil Tiva membuat Irvan menatap heran kearah pohon besar yang ada di belakangnya. "Benarkah?," ujar Irvan tak percaya. Bagi ukuran anak kota seperti Irvan mitos itu hanya sebuah lelucon menjelang tidur. Tidak ada hal yang mampu membuatnya merasa takut. Itulah sebabnya ia terpaksa dikirim orangtuanya ke kampung. Yah... karena keberaniannya yang sudah terlalu berlebihan. Dia menyiramkan air minum ke arah muka guru les-nya.
"Iya..." Tiva menegaskan, "dan kamu tahu?" Irvan pun menggeleng menanggapi pertanyaan Tiva. Tentu saja belum tahu gadis itu saja belum bercerita. Tiva menundukkan kepalanya lalu dicabutnya sehelai bunga ilalang yang telah mekar berwarna putih seperti kapas lalu ditiupnya batang bunga ilalang tersebut. Irvan menyaksikan serbuk-serbuk putih berterbangan dihadapannya. Indah.
"Beberapa tahun lalu, ada bapak-bapak yang mau nebang pohon ini," Tiva menghentikan ucapannya sejenak lalu meloncat keatas batu besar di sebelahnya.
"Lalu," rupanya Irvan mulai penasaran dengan cerita gadis itu.
"Orangnya sakit, lalu meninggal,"
Irvan menaikan alisnya, bukan karena dia takut akan kisah yang diceritakan Tiva, tapi dia merasakan sesuatu nada yang aneh ditelinganya. Intonasi suara gadis itu berbeda dengan ucapan anak-anak kecil seumuranya. Entahlah dia belum bisa menyimpulkan. Ucapan gadis itu lebih merdu ketimbang suara guru les-nya, atau omelan mamanya saat marah. Bahkan suara Tiva jauh lebih menarik dari suara rayuan opa-nya saat membujuknya dengan iming-iming hadiah.
***
Suara Tiva telah membujuknya untuk datang berulang kali. Ah bukan, lebih tepatnya keinginannya untuk mendengar suara itu lagi. Dia merindukan Tiva. Merindukan kisah-kisah yang dia simpan. Kisah selama mereka terpisah selama 18 tahun. Keinginnanya untuk segera menceritakan apa yang ia alami selama ini.
Ah...gadis rumput desahnya amat lirih bersamaan dengan hembusan angin. Irvan berdiri dia memasukan tangan kananya kedalam kantong celana sambil menengok ke arah kiri dan kanan.
"Mas, sedang cari siapa?" suara dari seorang lelaki setengah baya yang datang secara tiba-tiba itu telah membuatnya tersentak. Seorang lelaki berkulit hitam dengan kaos yang telah berlubang disana-sini. Ia mengenakan topi lusuh berwarna hitam. lelaki itupun tersenyum ke arah Irvan.
"Ah, anu pak...." Irvan menghentikan ucapannya saat ponselnya bergetar. Ia melirik nomer yang tertera pada layar.
Cecilia
Irvan memasukan kembali ponselnya tanpa berpikir panjang. Cecilia adalah gadis yang sejak dua tahun lalu menjadi wanita terdekatnya. Dia seorang dokter spesialis kecantikan, cantik, pintar, tentu saja dari keluarga yang tidak biasa. Hanya saja saat ini perasaannya telah memudar. Terlalu kejam memang tapi lebih kejam bila harus mempertahankan hubungan yang telah sakit. Karena hanya menyiksa diri dan tidak mungkin mencurahkan kasih sayang dengan sepenuh hati.
Irvan mengulurkan tangannya pada bapak-bapak tadi. "Saya Irvan, Pak."
"Saya Joko, RT di sini," Lelaki yang mengenalkan namanya dengan nama Joko itu menyambut uluran tangan Irvan. kesempatan itupun tak mau ia sia-siakan untuk menanyakan keadaan Vita si gadis rumput. Dari beliau Irvan mendapat keterangan bahwa Vita menjadi seorang bidan di sebuah desa, yang tak jauh dari desa yang sekarang ia kunjungi. Setelah meminta alamat tepatnya, Irvan bergegas mengarahkan mobilnya menuju sebuah desa yang dimaksud.
Dalam perjalanan menuju sebuah desa yang bernama Gumelar, ponsel Irvan sudah berkali-kali berbunyi. Namun tetap saja tak ia hiraukan. Ia mengarahkan mobilnya kearah selatan berbelok pada sebuah pertigaan, setelah berhenti untuk menanyakan keberadaan desa tersebut pada tukang ojek yang magang disitu. Menurut tukang ojek tadi ia baru sampai di daerah Karang Bawang sehingga masih membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai di desa Gumelar.
Setelah bertanya beberapa kali akhirnya Irvan sampai pada sebuah pertigaan ke-lima yang katanya pertigaan Karang Anyar. Dari situ ia belok ke kiri menuju sebuah Puskesmas tempat Vita bertugas. Disana ia mendapati beberapa ojek yang sedang mangkal lalu menyebarkan pandangan untuk mencari keberadaan Puskesmas yang dimaksud. Ternyata memang tak jauh dari tempatnya berdiri. hanya beberapa meter dari tugu yang terletak di tengah jalan. Ia menuruni tangga Puskesmas lalu bertanya pada petugas. "Oh, Ibu vita? ada pak. Sebentar saya masuk apakah beliau sedang sibuk atau tidak?" Irvan hanya menganggukan kepalanya sebagai persetujuan. Jantungnya berdenyut semakin cepat, sudah tidak sabar rasanya menunggu bertemu orang yang selama 18 tahun ia rindukan. Tak lama kemudian suster keluar untuk mempersilahkan Irvan masuk kedalam ruangan Ibu Vita.
Seorang wanita berkacamata tersenyum sambil berdiri sebagai sambutan kedatangan Irvan. Lalu Irvan pun duduk setelah dipersilahkan.
"Maaf, benar anda Vita si rumput liar?" ucap Irvan dengan bibir bergetar.
Vita sendiri terdiam sejenak sambil membetulkan kacamatanya. "Anda? Irvan si bandel yang di buang karena menyiram guru lesnya dengan secangkir kopi itukah?"
Untuk beberapa saat mereka masih berbasa-basi untuk mengenang nostalgia mereka dimasa kecil. Hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya status Vita.
Sebuah kenyataan yang harus ia terima ternyata jauh lebih menyeramkan dari yang ia bayangkan. Karena ternyata Vita telah memiliki suami bahkan sudah memiliki seorang putra yang baru berumur satu tahun. Vita masih ingat betul, bagaimana dulu mereka berdua sepanjang hari bermain-main di sawah dekat sungai, duduk di bawah pohon besar sampai sore.
"Aku pasti menjemputmu, ingat itu." Itu adalah kalimat terakhir Irvan saat orangtuanya datang menjemput dirinya kembali ke jakarta 18 tahun silam. Vita adalah seorang yatim piatu yang tinggal bersama neneknya. Ayah dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan kendaraan umum saat pulang dari pasar. Meski demikian Vita adalah anak yang cerdas sehingga seorang Irvan yang terkenal bandel pun mampu berubah setelah mengenal dirinya.
"Kenapa kau melupakan janjiku, Vit? bukankah sudah kukatakan kalau aku akan menjemputmu," Irvan mendesah.
"Van, kita hidup di dunia nyata, bukan sinetron yang mempercayai janji seorang bocah berumur delapan tahun, Kehidupan ini tidak semudah yang kita bayangkan ada kalanya apa yang kita inginkan betul-betul sekedar mimpi yang tidak terjadi," Irvan terdiam mendengar kata-kata Vita. Mereka duduk di sebuah taman belakang Puskesmas karena kebetulan sudah waktunya untuk Vita pulang.
"Kamu ingat cerita pohon besar yang aku ceritakan dulu? Sebuah pohon yang telah tumbang saja mampu berdiri kembali berkat tangan Tuhan. Jadi, jangan patah semangat untuk meneruskan hidup dengan mimpimu yang baru,Van."
Irvan menyesap tehnya lalu menatap wanita cantik dihadapanya, ia nampak anggun dan berwibawa, "sungguh beruntung suamimu,Vit."
Vita hanya tersenyum penuh misteri menanggapi ucapan Irvan.
"Van, percayalah kebahagiaan bukan sekedar dari apa yang kita cari, tapi juga dari apa yang kita miliki. Karena dengan begitu kita akan tahu bagaimana cara bersyukur."
Meski kecewa karena Vita tidak mengijinkan dirinya bertemu dengan suaminya, Irvan akhirnya pamit dan meninggalkan wanita yang ia cari selama bertahun-tahun itu begitu saja. Apa yang ia cari tidak menghasilkan apa, tidak sesuai dengan yang diharapkan hanya saja ia bersukur karena hidup Vita tidak seburuk yang ia bayangkan.
MK, Taipe 29/10/2010
Cerpen ini dimuat di majalah Jelita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar